MEMPERJUANGKAN
NILAI, MENAKLUKKAN SEJARAH[1]
Aprinus
Salam[2]
Sekilas Konsep Budaya S.T. Alisjahbana
Perbincangan
tentang pemikiran budaya Sutan Takdir Alisjahbana (STA) sudah sering dilakukan.
Beberapa di antaranya mendukung, tetapi lebih banyak pula yang mengkritik atau
menolaknya. Mungkin Ignas Kleden (1988) yang cukup elegan dalam mendudukkan
pemikiran STA. Beberapa konsep budaya STA memang dianggap tidak empiris,
idealis, dan normatif sehingga mengalami kesulitan untuk membumi di Indonesia.
Akan
tetapi, begitu Kleden, lebih dari itu yang paling penting adalah sosok STA itu
sendiri yang demikian yakin dan “final” dalam pendiriannya. Kleden menghormati
STA karena STA seorang yang konsisten dan konsekuen dengan dan dalam pemikirannya.
STA mempraktikkan secara sungguh-sungguh konsep pemikirannya dalam kehidupan
sehari-hari, ia pekerja keras dan belajar banyak hal.
STA
mengartikan kebudayaan sebagai keseluruhan penjelmaan dari proses penilaian dan
nilai-nilai yang muncul dari perilaku, perbuatan, perkembangan benda-benda
rohani dan jasmani manusia, yang kesemuanya berintegrasi dalam suatu pola atau
konfigurasi. Berdasarkan konsep tersebut STA mengartikan lebih jauh kebudayaan
sebagai penjelmaan keaktifan budi manusia menanggapi persoalan-persoalan
kehidupan dan nilai-nilai.
Tulisan
ini mempersoalkan salah satu filosofi pemikiran STA tersebut, yakni bahwa
manusia, dengan akal budinya, mampu menaklukkan sejarah. Ia berkeyakinan bahwa
sejarah bisa dipotong. Implikasinya, sejarah kebodohan bisa dipotong, sejarah
kemiskinan bisa dipotong, sejarah korupsi bisa dipotong.
Apabila Datang Masanya,
Dapat
dikatakan bahwa STA merupakan salah satu pionir dalam berbagai gagasan tentang bagaimana
Indonesia bisa maju (dan modern). Salah satu prinsip dalam pemikiranya, jika
Indonesia mau maju maka Indonesia harus mengadopsi ilmu pengetahuan dan
teknologi Barat (yang menjadi sumber kemajuan renaisans Eropa). Kegandrungan
STA terhadap Barat tentu sangat beralasan karena Barat terbukti sukses dalam
mengembangkan peradabannya menjadi negara-negara yang makmur, lebih sehat,
lebih kaya, lebih berkeadilan, dan lebih demoraktis.
Walaupun
STA mengagumi Barat, di tahun 1970-an akhir dan 1980-an awal, dia mengkritik
Barat karena ada beberapa perkembangan di Barat yang tidak menggembirakan. Ia
mengkiritik Barat karena Barat lebih berkembang secara sekular, dan terjadinya
dehumanisasi sebagai efek dari kapitalisme. Akan tetapi, STA tidak cukup punya
alasan mengkritik individualisme dan pencapaian (ambisi) diri manusia karena
hal itu masih sejalan dalam koridor pemikiran STA yang mengunggulkan pribadi
diri yang kuat.
Selain
itu, STA juga memperhitungkan akan terjadi berbagai kendala dalam mengadopsi
budaya Barat itu. Ia memperhitungkan bahwa tradisi-tradisi (budaya lama) di
Indonesia tidak memiliki orientasi pada progresi individual dan kemajuan
ekonomi. Selain itu, Islam masuk ke Indonesia. Islam dan beberapa tokohnya
(biasanya para haji) memang memperlihatkan etos kerja dan ekonomi yang
berpengaruh terhadap perkembangan ekonomi lokal (di beberapa tempat di
Indonesia).
Dalam
sejarahnya, komunitas-komunitas Islam tertentu memperlihatkan keberhasilan dan persaingan
dengan komunitas Cina Indonesia. Akan tetapi, terbukti kelak orang Cina di
Indonesia memperlihatkan kemajuan ekonomi yang penting dan orang Islam kalah
bersaing.
Sepertinya,
kebudayaan Indonesia merupakan komposisi yang mengarah pada nilai-nilai yang
mana “tradisi budaya” jauh lebih kuat daripada apa yang bisa dibayangkan STA.
Komposisi budaya kita diarahkan dan mengarah pada sesuatu yang berangkat dari
nilai-nilai lokal tertentu. Di Jawa, misalnya, kebudayaan lebih menjadi sesuatu
yang men-Jawa dengan atribusi sedikit modern daripada modern-Jawa. Padahal,
mungkin yang diharapkan STA adalah orang modern yang Jawa, orang modern Minang,
dan sebagainya.
Tampaknya,
dalam banyak hal, STA menyetujui Weber. Pengembangan dan sandaran
rasionalistas, kerja keras, disiplin, hidup hemat dan sederhana merupakan jalan
atau solusi bagaimana budaya Barat (modernitas) tersebut bisa “diambil alih”. Dalam
beberapa tulisannya, STA menjelaskan teori Weber dan dengan relevansinya atas etos
orang Islam di Indonesia, juga konfusius. STA mengatakan bahwa Islam yang masuk
ke Indonesia adalah Islam yang telah berkurang semangat ilmu dan semangat
ekonominya, walaupun tetap masih dapat memberi kegiatan ekonomi (1988: 83).
STA
berkeyakinan bahwa pada akhirnya segala sesuatu bergantung manusianya.
Kebudayaan adalah hasil rekayasa (perbuatan) manusia, bukan sebaliknya. “Apabila datang masanya, kebudayaan Indonesia
tumbuh rimbun dan dahsyat sebagai pohon beringin. Berikut akarnya menyemai bumi
dan di bawah lindungannya bangsa Indonesia jaya dan berbahagia”.
Persoalannya,
bagaimana menempatkan kembali konsep tersebut dalam perkembangan dunia,
khususnya Indonesia, saat ini. Apakah masih mungkin pemikiran STA tersebut relevan?
Restorasi Budaya
Dalam
perkembangannya, beberapa negara (tidak termasuk Indonesia) memperlihatkan
bahwa telah terjadi transformasi atau revolusi budaya. Pada tahun 1970-an,
Singapura tidak lebih sebagai negara pelabuhan yang tidak cukup berarti dalam
konstelasi dunia. Ketika negara kecil dan secara relatif tidak memiliki kekayaan
SDA tersebut dipimpin Lee Kwan Yew, Singapura secara cepat berubah.
Setelah
menjadi pemimpin politik tertinggi, Lee Kwan Yew bertekat membersihkan
Singapura dari korupsi dan mengefisienkan birokrasi. Terbukti dalam masa
kepempimpinannya Singapura menjadi negara maju dan kekuatan ekonominya kemudian
disebut sebagai salah satu macan Asia, hingga kini. Dalam kepemimpinan Lee, korupsi
turun drastis, hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Tentu terdapat sejumlah nilai
budaya yang akomodatif dalam diri manusia Singapura sehingga Singapura bisa
berubah dengan cepat.
Kisah
Lee Kwan Yew memperlihatkan bahwa keteguhan diri manusia, yang berimplikasi
pada keputusan dan tindakan politik, bisa mengubah kebudayaan. Lee berhasil
memotong dan menaklukkan sejarah. Masalahnya adalah bahwa nilai yang dipraktikkan
Lee mendapat dukungan modal budaya yang dimiliki orang Singapura, khususnya
etos Konghucu. Walaupun tidak secara ekplisit bisa dijelaskan, ada kesamaan
antara etos Konghucu dan etos Protestan seperti dijelaskan dan mejadi teori
Weber tentang proses perkembangan kemakmuran dan demokrasi dalam suatu masyarakat.
Korea
juga memperlihatkan tanda-tanda bahwa manusia bisa memotong dan menaklukkan
sejarah. Pada tahun 1960-an, Korsel adalah negara yang tidak cukup
diperhitungkan di dunia. Kesadaran tentang ketertinggalan itu membuat
masyarakat Korsel mengubah strategi hidupnya. Pada tahun 1990-an, Korsel
merupakan salah satu negara termaju, dan menjadi kekuatan ekonomi ke-14 di
dunia. Hal yang paling mengubah Korsel adalah perubahan budaya, perubahan manusianya
yang mau kerja keras, mengubah dan menerapkan pendidikan secara konsisten dan
bertanggungjawab, hidup hemat, mengembangkan organisasi secara demokratis, dan
disiplin.
Barangkali
yang spektakuler adalah Jepang. Pada tahun 1860-an Jepang merupakan negara yang
dikuasai Shogun. Pada tahun 1867-68 terjadi pergolakan dan pertumpahan darah di
Jepang karena masyarakat Jepang menginginkan kembalinya zaman normal (yang
kemudian disebut restorasi Meiji) dan kekuasaan kembali ke kaisar yang berpihak
pada modernitas. Kekuasaan elite Jepang membangun ekonomi secara rasional,
mengirim warga ke Eopa atau mendatangkan ahli dari Barat untuk membangun Jepang,
dan secara konsisten dan konstan membangun semangat cinta Kaisar (Jepang). Pada
tahun 1980-an, dan seterusnya, Jepang menjadi salah satu negara paling maju dan
modern di dunia, dan dengan tingkat kemakmuran yang tinggi.
Berangkat
dari beberapa kasus di atas, pada dasarnya konsep tentang sejarah dapat ditaklukkan
adalah sesuatu yang mendapatkan landasan empirisnya, dalam berbagai cara yang
berbeda. Lebih dari 75 tahun yang lalu STA sudah mempersoalkan bahwa Indonesia
seharusnya melakukan hal itu. Akan tetapi, hingga sekarang ternyata banyak hal
tidak cukup berubah di Indonesia. Apa persoalannya? Sangat mungkin hal ini
berkaitan dengan modal budaya yang dimiliki orang Indonesia.
Jejak-Jejak Modal Budaya
Modal
budaya adalah pemilikan masyarakat terhadap nilai-nilai, kepercayaan, sikap,
pandangan dan orientasi hidup, yang dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari
(bdk. dengan Samuel P. Huntington, 2000). Dengan demikian, modal budaya adalah
bagaimana kehidupan dipraktikkan.
Sejumlah
besar negara di Afrika memperlihatkan fenomena yang lebih kurang sama dengan
Indonesia. Secara geografi Afrika lebih dekat dengan Eropa dan mendapat
persentuhan lebih intens. Akan tetapi, hingga hari ini sejumlah negara di
Afrika merupakan sekumpulan negara paling miskin dan paling darurat di dunia.
Peperangan, kematian (karena sakit atau kelaparan), masih terjadi di berbagai
belahan Afrika. Di benua itu, di selatan Sahara, sekitar 300 juta orang hidup
dalam kemiskinan yang parah.
Beberapa
pakar mengatakan bahwa salah satu kendala utama Afrika adalah banyak dari orang
Afrika tidak mau berubah karena kuatnya cengkraman tradisi budaya. Orang Afrika
adalah sejumlah orang yang senang berpesta dalam siklus seremoni (kelahiran, pembatisan,
pernikahan, kematian, ulang tahun, promosi jabatan, pemilihan, perjalanan baik
pulang atau pergi, dan sebagainya) sehingga orang Afrika tidak memiliki tabungan
dan bahkan rela berhutang. Saya hanya ingin membandingkan bahwa hal itu juga
terjadi di Indonesia.
Di
luar tradisi pesta seremonial dan keinginan untuk menikmati hidup, kita bisa
bertanya, pemilikan modal budaya seperti apa yang telah dipraktikan dalam
kehidupan sehari-hari. Misalnya, dalam praktik kehidupan, kita sering longgar
terhadap kendali waktu dan kedisiplinan. Kita punya keyakinan bahwa hidup ini alon-alon sing penting kelakon. Tidak
penting prosesnya, tetapi yang penting dapat terlaksana. Bagaimapun itu
merupakan salah satu kondisi modal budaya yang ada dalam masyarakat.
Tidak berlebihan jika dikatakan
bahwa kita juga longgar terhadap etika kerja keras. Ada dua kemungkinan,
pertama, kita itu sebetulnya mau bekerja keras, tetapi tidak ada jaminan bahwa
kerja keras kita mendapat imbalan yang setimpal (Berarti ini masalah struktural
dan bagaimana negara mengelola distribusi pendapatan). Kedua, ada nilai-nilai
lain untuk tidak perlu ngoyo, hidup
itu sak madya saja, hidup itu
sederhana saja. Kita tidak perlu berambisi untuk sukses dan berhasil. Artinya,
modal budaya yang kita miliki mengajarkan kita tidak perlu ambisius, tidak
boleh menampilkan ekspresi diri yang berlebihan. Seperti kita tahu, modal
budaya ini kelak bertentangan dengan masyarakat modern (bdk. Ronald Inglehart,
2000).
Resikonya, kadang inisiatif yang
inovatif dan produktif dari individu juga tidak berkembang. Hal ini
memperlihatkan bahwa nilai dan kehendak kolektif (masyarakat) menekan individu.
Kita selalu memenangkan kehendak orang banyak walau hal itu tidak produktif.
Misalnya, kita tahu bahwa polisi tidur itu mengganggu kenyamanan berjalan dan
hanya mengganggu atau merugikan orang berkendara. Akan tetapi, keluhan
individual tidak penting dan tidak dilayani.
Kita
memang mengagungkan ketertiban, kedamainan, atau bahkan keharmonisan. Akan tetapi,
diam-diam begitu banyak kebusukan tersimpan dan tersembunyi, dan kita tidak
memiliki keberanian untuk membongkar dan menelanjangi. Atas nama kedamaian,
kita hanya tidak menyukai koruptor, tapi tidak berbuat apa-apa sebagai sanksi
sosial. Atas nama keharmonisan, kita memilih diam dan sakit hati atas kezaliman
pemimpin daripada ramai dan jadi masalah.
Memang
ada nilai-nilai filosofi sebaliknya, misalnya yang berbuat baik akan panen
kebaikan, yang kerja keras akan berbuah dari kerja kerasnya, baik cepat maupun
lambat. Misal lain, hidup itu hanya mampir minum,
hidup itu sementara, maka bergegaslah hidup yang sementara itu diisi dengan
kebajikan. Kita tahu nilai-nilai seperti itu, tetapi biasanya kita sulit mempraktikannya. Kabajikan
sering dimaknai secara politis, dan politisasi terlanjur menyejarah alam hidup
kita.
Akan
tetapi, nilai hidup itu hanya mampir
minum, menjadikan kita tidak berpikir jangka panjang. Kita perlu
“berpuas-puas” karena hidup itu hanya sebentar. Tidak perlu menabung dan
berstragegi untuk ke depan. Kita tidak bisa mengendalikan masa depan. Hal ini
memperlihatkan bahwa kemampuan orang Indonesia dalam mengendalikan waktu masih
lemah.
Padahal,
seperti dikatakan Mariano Grondana, waktu terbagi tiga, dahulu, sekarang, dan
ke depan. Waktu ke depan ada yang dalam jangkauan, tetapi ada yang sangat jauh
ke depan (alam baka). Hal ini penting karena banyak modal budaya di antara kita
yang melihat; kalau tidak kejayaan masa lalu, atau justru yang sangat jauh ke
depan. Ini bertentangan dengan nilai-nilai modern. Dia mengajak kita untuk
perlu realistis dalam mengendalikan waktu secara rasional dan terjangkau.
Agama
tentu berperan penting bagi pemeliharaan dan pemupukan modal budaya. Masalahnya
adalah bahwa aturan-aturan, terutama syariah, sudah sangat baku sehingga
mengalami kesulitan untuk beradaptasi dengan perubahan. Memang, banyak orang
masih berpegang teguh dengan modal budaya dalam bimbingan agama. Sejauh
pembicaraan di sini tidak terlalu menyimpang dari persoalan tersebut, peran
agama dalam pemeliharaan modal sosial tidak disinggung.
Dalam
situasi itu, adalah kenyataan bahwa kondisi masyarakat Indonesia ternyata tidak
cukup baik. Kualitas manusia Indonesia ada di peringkat 124 dari 187 negara.
Saat ini, Indonesia menduduki peringkat lima besar negara paling korup di
dunia. Orang yang hidup di bawah garis kemiskinan sekitar 35 juta orang.
Pengangguran hampir 15 juta orang. Kualitas kesehatan orang Indonesia tidak
cukup baik, kriminalitas terjadi di mana-mana. Politik dijalankan dengan cara-cara
kerakusan. Ekonomi dipraktikkan dengan cara-cara ketamakan, hukum bisa diatur
dan dibeli dengan uang, dan sebagainya.
Kita bisa membayangkan bahwa tentu
bukan hanya STA yang menjadi sangat prihatin dan sedih dengan kondisi Indonesia
saat ini. Itulah sebabnya, gagasan bahwa nilai-nilai harus diperjuangkan
kembali dan sejarah harus ditaklukkan perlu dikumandangkan secara konsisten dan
lantang. Seperti diberitakan dan ditulis oleh beberapa pakar, perjuangan
terhadap nilai itu yang sekarang tidak dimiliki oleh Indonesia.
Konsolidasi Barat
Seperti telah disinggung, pada tahun
1970-an STA mengkritik Barat karena perkembangan Barat dianggap menyimpang. Tanpa
dikritik STA, Barat juga mengkritik dirinya. Barat melakukan berbagai
konsolidasi untuk menekan kemungkinan terjadinya dehumanisasi, bias dan
ketimpangan jender, mengontrol penegakan hukum dan demokrasi. Alhasil, sebagian
negara Barat, seperti Amerika Serikat dan sejumlah negara Eropa tetap berhasil
mempertahankan kemakmuran, kemajuan, dan penegakan hukum dan demokrasi.
Hal yang menarik adalah bahwa
beberapa ahli dan ilmuwan Barat saat ini justru mengembangkan dan kembali
memperjuangkan nilai-nilai budaya yang berorientasi untuk kemakmuran, keadilan,
dan kemajuan bersama di dunia. Di samping melakukan studi-studi empiris,
beberapa pemikir dan ilmuwan Barat (atau mereka yang belajar banyak dari
keberhasilan Barat) mulai berpihak bahwa, dalam beberapa kasus, sejarah bisa
ditaklukkan demi kemaslahatan bersama.
Saya ingin mengutip pernyataan
Lawrence E. Harrison (2000, buku itu kemudian diterjemahkan oleh LP3ES tahun
2006). Kutipan berikut dari buku LP3ES tersebut).
Kehidupan lebih baik daripada
kematian.
Kesehatan lebih baik daripada sakit.
Kebebasan lebih baik daripada
perbudakan.
Kesejahteraan lebih baik daripada
kemiskinan.
Pendidikan lebih baik daripada
kebodohan.
Keadilan
lebih baik daripada ketidakadilan.
Artinya, komitmen dan gagasan STA
bagaimana memperjuangkan nilai untuk menaklukkan sejarah kemiskinan, penyakit, kebodohan,
perbudakan, ketidakadilan mendapatkan relevansinya kembali. Kita tahu bahwa
begitu banyak penelitian, teori, dan strategi-strategi yang telah dilakukan dan
diterapkan di Indonesia. Dalam kenyataannya, Indonesia masih merupakan salah
satu negara paling tidak adil di dunia, kemiskinan dan ketidaksehatan masih
merupakan salah satu masalah besar di Indonesia, korupsi masih secara
besar-besaran dan terang-terangan dilakukan. Apa yang bisa kita lakukan secara
benar di Indonesia demi masa depan yang lebih mulia?
Memang, Kompas, 25 November 2011 memberitakan bahwa menurut proyeksi Princewaterhouse-Cooper dan Goldman Sach memprediksi bahwa Indonesia
pada tahun 2050 akan masuk tujuh besar perekonomian dunia, bersama Brasil,
Rusia, China, Meksiko, dan Turki. Sementara itu, menurut Yayasan Indonesia
Forum, pada tahun 2030 Indonesia masuk lima besar perekonomian dunia, dengan
produk domestik bruto (PDB) 5.1 trilliun dollar AS dan PDB per kapita 18.000 dollar
AS.
Persoalannya
adalah bahwa perhitungan tersebut lebih merupakan perhitungan angka-angka
ekonomi makro tanpa memperhitungkan kondisi-kondisi budaya yang terjadi di
Indonesia. Saya mengkalkulasi jika perhitungan tersebut tidak didukung oleh
reformasi, atau bahkan revolusi budaya, maka berita tersebut menjadi sesuatu
yang utopis dan terjerumus pada perhitungan kasar yang berlebihan. Namun,
anehnya, dalam kontekstualisasi STA, saya sendiri berharap bahwa ramalan
tersebut dapat terwujud.
Memodifikasi Nilai-Nilai Budaya
Mengikuti
beberapa gagasan STA, paling tidak terdapat beberapa hal yang berkaitan dengan
perjuangan nilai yang perlu terus menerus didesakkan. Memang ajakan itu normatif
dan kita sudah tahu semua. Akan tetapi, seperti yang dicontohkan dengan tidak
bosan-bosan oleh STA, kita harus saling mengingatkan.
Hal
pertama yang selalu ditolak STA adalah bahwa kita jangan terbelenggu oleh
kejayaan masa lalu. Hal ini disampaikan STA ketika mengkritik novel Armijn
Pane, Belenggu. STA mengatakan bahwa
bangsa yang mengagungkan kejayaan masa lalu adalah bangsa yang terbelenggu
karena justru tidak cukup tangkas berpikir terhadap masa depan.
Di
samping itu, STA juga mengingatkan kita untuk mengendalikan waktu dengan
cara-cara disiplin yang ketat. Kita perlu ambisius dan kalau perlu egois untuk
memperluas dan mendalami pengetahuan agar menjadi bangsa yang tidak terjajah
terus. Itu pemahaman yang paling realistis dan strategis sekaligus adaptif
terhadap berbagai perubahan yang terjadi. Bagaimanapun, sejauh ini perubahanlah
yang menggiring kita ke depan, bahwa hidup berjalan ke depan.
Kedua,
STA selalu menekankan kemandirian, kemampuan individual dan perlunya kebebasan
ekpresi diri yang produktif. STA juga membantu kita untuk berpikir jangan
mementingkan nama baik, tapi bagaimana berbuat baik dan terus menerus bekerja,
seperti yang telah dicontohkan dalam hidupnya.
Masalahnya
adalah bahwa nilai tersebut dihadapkan oleh pemilikan budaya masyarakat
Indonesia, juga dihadapkan dengan nilai-nilai lain seperti godaan hedonisme.
Kenapa bisa begitu, karena kebudayaan adalah sesuatu hasil negosiasi antara
nilai-nilai ideal dan nilai-nilai aktual yang sedang “berlaku” di masyarakat.
Proses negosiasi ditentukan oleh banyak hal, bisa yang bersifat regulatif dan
teratur, tetapi banyak hal justru terjadi secara spontan (bandingkan juga
dengan Francis Fukuyama, 2000).
Fukuyama
menjelaskan bahwa kehidupan dijalankan berdasarkan negosiasi antara kemapanan
dan kespontanan. Banyak modal budaya yang berusaha mempertahankan kemapanan dan
tidak cukup memberi peluang untuk kespontanan. Padahal, ke depan, dinamika
kemajuan dan perkembangan ekonomi menuntut lebih besar peluang kespontanan,
yang dalam hal ini adalah inovasi, kreativitas, dan ekpresi diri yang
produktif.
Singkat
kata, banyak modal budaya kita yang perlu disingkap, ditelanjangi, dan dinilai
kembali dengan nilai-nilai yang lebih
relevan terhadap kemajuan masa depan. Modal budaya bukan hanya untuk dipelihara
dan dipraktikkan terus menerus jika hal itu ternyata tidak cukup kondusif
terhadap perkembangan masyarakat menuju masyarakat yang sejahtera dan
demokratis. Akan tetapi, lebih dari itu adalah keberanian untuk berubah.
Seperti kata puisi Aku-nya Chairil berlari hingga hilang pedih peri.
Bagaimana
peluang pemikiran STA tentang nilai menaklukkan diri sendiri untuk menaklukkan
sejarah. Hal itu kembali tergantung bagaimana kita berani mereformasi untuk
kemudian merevitalisasi modal budaya yang kita miliki. Modal budaya pada
akhirnya menentukan karakter-karakter manusia Indonesia. Kalau dirasakan bahwa
modal budaya kita tidak cukup kondusif dalam membangung karakter, yang
berimplikasi terhadap pembangunan masyarakat sejahtera, berkeadilan, dan
demokratis, maka tidak ada salahnya kita ubah. * * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar