Kamis, 03 Mei 2012

MENCARI ALTERNATIF PENDIDIKAN ANAK USIA DINI (PAUD)[1]


Oleh Aprinus Salam[2]

1. Pengantar
            Salah satu situasi, kondisi ,dan medan utama PAUD adalah keluarga dan masyarakat. Upaya pelembagaan PAUD, memang penting, tetapi bagaimanapun keluarga dan masyarakat masih memainkan peranan utama dalam PAUD. Hal itu dimungkinkan karena sebagian besar waktu AUD masih bersama keluarga dan masyarakat. Pendidikan formal AUD menjadi penting karena diharapkan memberikan masukan, berupa konsep dan wacana, ataupun praktik bagaimana AUD dikelola dan dididik secara lebih komprehensif.

            Berdasarkan beberapa pemahaman atau “teori” yang bisa diterima bersama, maka dapat dikatakan bahwa dalam jangka panjang mutu suatu bangsa atau masyarakat ikut ditentukan bagaimana bangsa atau masyarakat tersebut mendidik AUD-nya. Hal itu dikarenakan karakter seseorang ikut (kalau tidak sangat) ditentukan bagaimana seseorang mendapat pendidikan (dalam pengeritan luas) pada usia dini tersebut.

Sayangnya, kita tidak mendapat informasi yang singnifikan bagaimana nenek moyang kita mendidik AUD-nya. Menilik kondisi bangsa (masyarakat) Indonesia sekarang, dengan indeks kualitas SDM yang rendah (bahkan dibanding beberapa negara ASEAN), banyaknya orang miskin yang hidup darurat, mutu pendidikan yang masih buruk, masih banyaknya pengangguran dan kekerasan, dan merejalelanya korupsi, maka dapat dikatakan bahwa secara umum bangsa Indonesia telah gagal mendidik karakter manusianya. Persoalannya, kenapa dan bagaimana hal itu terjadi?

            Tulisan ini mempersoalkan bagaimana PAUD dikelola dan dipraktikkan di Indonesia.[3] Hal-hal yang ingin diperhatikan adalah bagaimana tradisi dan kebiasaan masyarakat dalam mendidik AUD-nya, implikasinya, dan kemungkinan historis dalam ikut membangun karakter masyarakat di masa depan. Saya tidak menulis persoalan tersebut sebagai ahli pendidikan, tetapi dalam kapasitas seseorang yang sedikit banyak mempelajari persoalan kebudayaan di Indonesia.

2. Kondisi AUD: Beberapa Kasus
            Keberadaan anak pada usia dini secara relatif mendapat curahan perhatian hampir semua orang, lebih-lebih orang tua (bersangkutan) dan keluarga. Pada usia tersebut, tingkat kebergantungan anak masih sangat tinggi karena ia belum bisa apa-apa. Karena kebergantungan yang tinggi tersebut, nyaris tidak ada AUD yang tidak didampingi keluarga atau orang tuanya, atau seorang yang bekerja untuk menjaga anak tersebut. Seorang AUD kadang mengalami kemanjaan yang luar biasa, yang saya sebut sebagai “pemanjaan yang tidak rasional”, sehingga semua keinginan dan kemauannya dipenuhi, dan di situlah “musibah” itu dimulai.

            Suatu hari, ada seorang anak sekitar berumur 3,5 tahun membuang bungkus ciki di halaman rumah seseorang. (Kita tahu, bahwa hingga hari ini kita belum cukup mampu mengajarkan anak membuang sampah pada tempatnya. Kita ini masyarakat yang bersampah). Yang punya rumah menegur anak tersebut agar tidak membuang sampah sembarang secara baik-baik. Akan tetapi, ternyata si orang tua anak tersinggung dan tidak terima. Dia bilang, “Lah anak kecil kok tidak dimaklumi”. Yang menegur merasa heran karena dia tidak melakukan kesalahan apalagi memarahi sang anak. Siatuasi menjadi sangat tidak enak. Sejak itu, dua tetangga tersebut bermusuhan. Suatu kali, sang anak membuang sampah kembali di halaman tetangganya, dan kembali ditegur. Sang orang tua anak tidak terima, dan yang mengejutkan, ia langsung mengambil pisau dan menusuk tetangga yang menegur anaknya.

Di kampung saya, cara orang “membangunkan” saur dengan cara menabuh genderang yang memekakkan kuping. Banyak AUD yang terbangun, dan ia keluar rumah menyaksikan bagaimana genderang yang mengganggu “orang yang tidak perlu saur” itu telah ditransfer secara tidak sadar. Ketidakpedulian sosial telah diajarkan. Seorang anak merengek minta dibelikan mercon. Walau bukan anak kecil itu yang menghidupkan mercon, tapi dia dipertontonkan bagaimana membunyikan mercon. Di kemudian hari, mercon menjadi kebiasaan yang “menyenangkan”, tapi sekaligus mengganggu orang lain dan hampir tidak ada gunanya. Proses pembisingan dan pemekakaan telinga telah ditransmisikan.
           
Kita melihat sisi lain seorang AUD. Mungkin pagi hari hingga siang sang AUD diititipkan ke lembaga-lembaga PAUD. Di situ AUD terkesan dibiarkan bermain. Ada kecenderungan bentuk permainan yang diakomodari masih mengandalkan permainan yang mekanis dan teknis yang mudah di dapatkan di toko-toko. Mungkin barang-barang tersebut diproduksi di dalam negeri. Akan tetapi, sebagai ide permainan, hal itu boleh dikata sebagai gejala yang belum cukup lama. Hal ini kelak sedang kita pertaruhkan bagaimana daya strukturasi institusi PAUD formal memproduksi generasi masa depan, mungkin 15 atau 20 tahun ke depan, atau lebih.

Akan tetapi, pendidikan “formal” AUD itu cuma beberapa jam. Sepulangnya, AUD tersebut diajak berjalan-jalan ke mal, atau menonton atau mengikuti kampanye yang riuh sambil makan makanan yang gurih yang dengan mudah didapatkan di hampir seluruh toko besar ataupun warung kecil. Kemungkinan lain, untuk “menenangkan” AUD itu, mungkin sejenak dibiarkan melihat TV. Bukan persoalan dia menikmati atau tidak, tetapi diam-diam dia menyerap segala sesuatu yang ada di TV. Kita tahu bagaimana kualitas TV kita yang hampir tidak tersedia sebagai tontonan anak usia dini. Sistem kapitalisme ikut membesarkan anak usia dini kita.

Malam hari, ia mugkin kita dongengi tentang berbagai cerita. Salah satu dongeng yang mungkin masih kita ceritakan adalah kisah kancil yang  pragmatis, oportunis, sedikit licik, dan tidak berdaya. Perlahan tapi pasti, AUD mendapat masukan untuk menjadi kancil-kancil. Kelak setelah besar, kita tidak lebih menjadi kancil-kancil dewasa.

            Persoalan yang ingin dikatakan di atas adalah bahwa bagaimana proses transfer dan transmisi kebudayaan telah berlangsung secara terus-menerus dengan berbagai kekuatan konstitutif yang membentuk kebudayaan di masa depan secara konstan, yang secara relatif tidak mengalami perubahan, dan bahkan cenderung involutif. Hari-hari ini kita menanggung semua itu dan melihat keadaan kita dengan rasa hampir putus asa dengan pertanyaan bagaimana dan dari mana kita harus memperbaiki itu semua.

3. Memodifikasi Tradisi dan Kearifan Lokal
            Semua kegalauan itu menyebabkan kita mencari berbagai alternatif bagaimana mengatasi berbagai persoalan bangsa dan negara. Salah satu alternatif, kita mencari-cari kembali “sejarah masa lalu” dengan tradisi dan nilai-nilai kearifan lokalnya yang diandaikan sebagai dunia yang tenang dan harmonis. Atau, jangan-jangan ada yang salah dalam cara kita mengadopsi tradisi dan kearifan lokal. Persoalannya, tradisi dan kearifan lokal yang mana?

            Kekahawatiran saya adalah bahwa PAUD berbasis tradisi dan kearifan lokal menjadi sebuah keterjebakan pada jargon politik identitas yang secara substansial bersifat semu dan justru secara relatif tidak dimungkinkan. Dalam kenyataannya, banyak masyarakat saat ini justru semakin majemuk, bercampur baur, dan heterogen. Di Indonesia, kita hampir tidak menjumpai masyarakat yang homogen. Setiap orang membawa lokalitasnya masing-masing. Dengan demikian, yang dibutuhkan adalah suatu kehidupan antar-lokalitas. Dunia selayaknya dibangun di atas tataran lintas-lokalitas. Lokalitas yang mampu berdialektika dan membangun komposisi baru dengan lokalitas-lokalitas lain yang berbeda.

            Sebagai konsekuensinya, pengetahuan, kearifan, dan keberadaan lokalitas juga perlu mengadaptasi dan mengadopsi cara hidup yang sesuai dengan kamposisi baru tersebut. Kalau hal itu tidak dilakukan, pengetahuan dan kearifan lokal cenderung menjadi anarkis dan ekslusif. Tradisi dan kearifan lokal tidak lebih menjadi politisasi simbolik tertentu bagi mereka yang sudah mapan atau yang berkuasa. Itulah sebabnya, yang dibutuhkan tidak lagi sekedar tradisi atau kearifan lokal, tetapi justru kearifan sosial (atau bahkan kearifan global).

            Ada ilustrasi yang bagus apa yang dimaksud dengan kearifan sosial, yakni apa yang diperliahtkan oleh film Chocolat (2000), yang dibintangi oleh Juliette Binoche dan Johnny Depp. Dalam film itu, setiap orang ingin menawarkan tradisi dan kearifan (lokalitas)-nya masing-masing. Salah seorang yakin bahwa masyarakat hidup harus berdasarkan nilai-nilai agama. Yang lain menawarkan cara lokalnya yang lain. Film ini justru menawarkan “di atas” itu semua, yakni suatu kearifan yang sederhana berupa kebaikan hati, perhatian kepada orang lain dan lingkungan, siap menolong kapan saja dan di mana saja, memiliki keberanian individual dalam mempertahankan kebaikan (hati), siap berdialog dan terbuka, bisa dipercaya dan tidak berkhianat, rela berkorban, selalu bersemangat untuk mencari kehidupan yang lebih baik dalam masyarakat baru yang heteregon tersebut. Ini bukan menawarkan lokalitas, tetapi sosialitas, kearifan sosial.

Dengan demikian, terdapat dua konsep kunci yang ingin dipersoalkan dan sekaligus dihadapkan, yakni konsep kearifan lokal dan kearifan sosial. Sejauh ini, belum terdapat pengertian kearifan lokal yang mampu mengakomodasi dan memberikan jangkauan pengertian yang luas.  Dalam pengertian terbatas tersebut yang dimaksud dengan kearifan lokal adalah seperangkat nilai dan pengetahuan yang dipelihara “secara eksklusif” oleh kelompok masyarakat lokal tertentu, yang pada mulanya berhubungan dengan cara-cara pemahaman dan praktik sosial masyarakat berhadapan dengan alam dan lingkungan (ekologi).

Bentuk-bentuk pemeliharaan tersebut biasanya berupa ungkapan, pribahasa, dongeng-dongeng atau cerita mitos dan folklor, filsafat sosial, atau bahkan dalam ritus-ritus budaya yang bertujuan memelihara keseimbangan dan harmonisasi antara manusia dengan alam dan lingkungan (ekologi)), dan secara khususnya menjaga hubungan baik dengan kekuatan supranatural (Tuhan/ Allah/Yang Maha Esa/Yang Maha Kuasa).

Sementara itu, yang dimaksud dengan kearifan sosial adalah seperangkat nilai dan/atau pengetahuan kebajikan yang mempengaruhi orang atau masyarakat dalam melakukan tindakan atau praktik-praktik sosial, yang secara khusus lebih dalam konteks bagaimana cara-cara orang atau masyarakat dalam mengelola relasi-relasi sosial, mengelola kehidupan bermasyarakat atau bahkan bernegara. Secara lebih khusus kearifan sosial dapat diarikan seperti kebaikan hati, tidak berprasangka buruk, suka menolong, tidak bergunjing, perhatian, ramah, berani secara individual dalam membela kebaikan (hati), mau berkorban, jujur, toleran, semangat untuk hidup lebih bak, dan sebagainya.

Akan tetapi, dalam pengertiannya yang lebih lebar, kearifan lokal kemudian mengalami transformasi pengertian, yakni segala sesuatu yang berkaitan dengan kekhasan budaya-budaya lokal tertentu yang harus diakui keberadaannya, dan berbeda dengan kekhasan budaya lokal tertentu lainnya. Dalam praktiknya, dalam situasi inilah kearifan lokal kadang-kadang berbenturan dengan kearifan sosial.
Benturan terjadi ketika klaim kearifan lokal dianggap lebih berdaulat dibanding perbedaan-perbedaan dan perbauran yang terjadi di tingkat sosial. Jika pengakuan terhadap kearifan lokal didahulukan (dimenangkan) maka sangat mungkin kearifan lokal terkesan tidak adaptif terhadap konteks-konteks hubungan kemanusiaan yang lebih luas. Karena, seperti diketahui, dalam pengertian awalnya memang kearifan lokal tidak dimaksudkan sebagai satu perangkat pengetahuan untuk mengelola relasi sosial.

Namun, terdapat contoh yang menarik bagaimana kearifan lokal dan kearifan sosial dibedakan dan sekaligus selayaknya dipraktikkan secara bersamaan, misalnya dalam cara membangun rumah. Bagaimana rumah dibangun, menghadap ke arah mana, dari bahan apa (bambu, kayu, atau bata), kapan hari baik untuk masuk rumah, dan sebagainya, secara khusus merupakan kearifan lokal masyarakat bersangkutan.

Akan tetapi, pengatahuan lokal yang khusus itu hanya bisa berlaku pada waktu dulu, ketika penduduk dan tanah masih sangat luas untuk dibangun. Sekarang kenyataannya berbeda, tanah untuk hunian sangat sempit, sementara penduduk bertambah terus, dan kemiskinan. Sebagai resikonya, banyak rumah dibangun asal-asalan. Sementara itu, kearifan sosial lebih bersangkutan dengan bagaimana orang mengambil keputusan dalam membangun rumah agar ramah dengan tetangga, tidak membuat tetangga menjadi tersingkir atau menjadi tidak nyaman dengan keberadaan rumah tersebut.

4. Mencari Metode dan Pola
            Dapat “disimpulkan” bahwa secara umum masyarakat Indonesia telah gagal dalam membangun kesuksesan bangsanya. Hal yang itu terlihat dari gagalnya beberapa negara-bangsa (nenek moyang) terdahulu seperti Sriwijaya, Majapahit, Mataram, dan beberapa negara lain di nusantara yang tidak pernah berhasil membangun kesuksesan, melainkan justru runtuh. Pada abad ke-16 Indonesia mulai dijajah bangsa Barat, dan semenjak itu Indonesia mengalami inferioritas yang berkepanjangan, bahkan mungkin sampai hari ini.

            Melihat kegagalan bangsa Indonesia membangun kesuksesan bangsanya, kita memang perlu mengambil hikmah dari kegagalan cara-cara nenek moyang kita dalam membangun negara. Hingga akhir abad ke-19 dan terutama abad ke-20, sebagian kecil orang terdidik Indonesia mulai bermunculan menjadi tokoh-tokoh nasional. Saat ini, kita tahu, begitu banyak orang besar dan sukses di Indonensia. Pembelajaran biografi pada usia dini orang-orang besar dan sukses tersebut, tampaknya menjadi mendesak untuk dipelajari dan diteladani.

            Artinya, perlu dipelajari bagaimana seseorang pada usia dini nendapat didikan sehingga ia terbukti berhasil menjadi manusia tangguh sesuai dengan profesi yang digelutinya. Pola didikan dan metode yang menghasilkan manusia tangguh tersebut disistematisasikan dan dilembagakan sehinga didapatkan suatu pola dan metode yang dapat mempertahankan munculnya manusia-manusia tangguh. Institusi PAUD perlu mencari dan melakukan riset bagaimana tokoh-tokoh sukses dan tangguh di bidangnya masing-masing mengalami pembelajaran dan pendidikan di usia dini.
Kemungkinan kedua, kita perlu belajar dan mengadopsi pola dan sistem negara atau bangsa yang terbukti sukses mendidik karakter masyarakat dan bangsanya sehingga sukses menjadi bangsa besar. Bagaimanapun, pola dan metode yang sistematis dalam menyelenggarakan PAUD perlu dilembagakan berdasarkan riset yang matang dan dapat dibuktikan ketangguhannya. Memang, tentu perlu ada penyesuaian substansial seperti telah disinggung di depan.

Akan tetapi, hal itu tidak bisa dilakukan hanya dengan konsentrasi pada PAUD. Institusi PAUD selayaknya secara terus menerus memberi masukan kepada masyarakat agar AUD mendapatkan kehidupan dan pembelajaran tidak seperti yang digambarkan dalam beberapa kasus di atas. Bagaimanapun kita perlu melakukan suatu organisasi yang sinergis dalam mendidik masyarakat. Tanggung jawab kita terhadap negara dan bangsa tidak hanya di PAUD, tetapi secara sinergis dan berkelanjutan ada di tangan kita bersama. * * *



[1] Esei pendek ini merupakan catatan pengantar untuk Seminar Nasional Pengembangan Pendidikan Anak Usia Dini Berbasis Kearifan Lokal, di Universitas Negeri Jakarta, 28 September 2011.
[2] Dosen Pascasarjana FIB UGM, Yogyakarta.
[3] Pengertian tentang Indonesia kadang tidak mewakili sesuatu yang ternyata lebih bersifat lokal. Akan tetapi, hal Indonesia yang dimaksud adalah hal-hal yang terjadi di Indonesia, walau dalam praktiknya lebih bersifat budaya lokal tertentu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar