Oleh Aprinus Salam[2]
1. Pengantar
Salah satu situasi, kondisi ,dan
medan utama PAUD adalah keluarga dan masyarakat. Upaya pelembagaan PAUD, memang
penting, tetapi bagaimanapun keluarga dan masyarakat masih memainkan peranan
utama dalam PAUD. Hal itu dimungkinkan karena sebagian besar waktu AUD masih
bersama keluarga dan masyarakat. Pendidikan formal AUD menjadi penting karena
diharapkan memberikan masukan, berupa konsep dan wacana, ataupun praktik bagaimana
AUD dikelola dan dididik secara lebih komprehensif.
Berdasarkan beberapa pemahaman atau
“teori” yang bisa diterima bersama, maka dapat dikatakan bahwa dalam jangka
panjang mutu suatu bangsa atau masyarakat ikut ditentukan bagaimana bangsa atau
masyarakat tersebut mendidik AUD-nya. Hal itu dikarenakan karakter seseorang
ikut (kalau tidak sangat) ditentukan bagaimana seseorang mendapat pendidikan
(dalam pengeritan luas) pada usia dini tersebut.
Sayangnya,
kita tidak mendapat informasi yang singnifikan bagaimana nenek moyang kita
mendidik AUD-nya. Menilik kondisi bangsa (masyarakat) Indonesia sekarang,
dengan indeks kualitas SDM yang rendah (bahkan dibanding beberapa negara ASEAN),
banyaknya orang miskin yang hidup darurat, mutu pendidikan yang masih buruk,
masih banyaknya pengangguran dan kekerasan, dan merejalelanya korupsi, maka
dapat dikatakan bahwa secara umum bangsa Indonesia telah gagal mendidik
karakter manusianya. Persoalannya, kenapa dan bagaimana hal itu terjadi?
Tulisan ini mempersoalkan bagaimana
PAUD dikelola dan dipraktikkan di Indonesia.[3]
Hal-hal yang ingin diperhatikan adalah bagaimana tradisi dan kebiasaan
masyarakat dalam mendidik AUD-nya, implikasinya, dan kemungkinan historis dalam
ikut membangun karakter masyarakat di masa depan. Saya tidak menulis persoalan
tersebut sebagai ahli pendidikan, tetapi dalam kapasitas seseorang yang sedikit
banyak mempelajari persoalan kebudayaan di Indonesia.
2. Kondisi AUD: Beberapa Kasus
Keberadaan anak pada usia dini
secara relatif mendapat curahan perhatian hampir semua orang, lebih-lebih orang
tua (bersangkutan) dan keluarga. Pada usia tersebut, tingkat kebergantungan
anak masih sangat tinggi karena ia belum bisa apa-apa. Karena kebergantungan
yang tinggi tersebut, nyaris tidak ada AUD yang tidak didampingi keluarga atau
orang tuanya, atau seorang yang bekerja untuk menjaga anak tersebut. Seorang
AUD kadang mengalami kemanjaan yang luar biasa, yang saya sebut sebagai
“pemanjaan yang tidak rasional”, sehingga semua keinginan dan kemauannya
dipenuhi, dan di situlah “musibah” itu dimulai.
Suatu hari, ada seorang anak sekitar
berumur 3,5 tahun membuang bungkus ciki di halaman rumah seseorang. (Kita tahu,
bahwa hingga hari ini kita belum cukup mampu mengajarkan anak membuang sampah
pada tempatnya. Kita ini masyarakat yang bersampah). Yang punya rumah menegur
anak tersebut agar tidak membuang sampah sembarang secara baik-baik. Akan
tetapi, ternyata si orang tua anak tersinggung dan tidak terima. Dia bilang,
“Lah anak kecil kok tidak dimaklumi”. Yang menegur merasa heran karena dia
tidak melakukan kesalahan apalagi memarahi sang anak. Siatuasi menjadi sangat
tidak enak. Sejak itu, dua tetangga tersebut bermusuhan. Suatu kali, sang anak
membuang sampah kembali di halaman tetangganya, dan kembali ditegur. Sang orang
tua anak tidak terima, dan yang mengejutkan, ia langsung mengambil pisau dan
menusuk tetangga yang menegur anaknya.
Di
kampung saya, cara orang “membangunkan” saur dengan cara menabuh genderang yang
memekakkan kuping. Banyak AUD yang terbangun, dan ia keluar rumah menyaksikan
bagaimana genderang yang mengganggu “orang yang tidak perlu saur” itu telah
ditransfer secara tidak sadar. Ketidakpedulian sosial telah diajarkan. Seorang
anak merengek minta dibelikan mercon. Walau bukan anak kecil itu yang
menghidupkan mercon, tapi dia dipertontonkan bagaimana membunyikan mercon. Di
kemudian hari, mercon menjadi kebiasaan yang “menyenangkan”, tapi sekaligus
mengganggu orang lain dan hampir tidak ada gunanya. Proses pembisingan dan
pemekakaan telinga telah ditransmisikan.
Kita
melihat sisi lain seorang AUD. Mungkin pagi hari hingga siang sang AUD
diititipkan ke lembaga-lembaga PAUD. Di situ AUD terkesan dibiarkan bermain. Ada
kecenderungan bentuk permainan yang diakomodari masih mengandalkan permainan
yang mekanis dan teknis yang mudah di dapatkan di toko-toko. Mungkin
barang-barang tersebut diproduksi di dalam negeri. Akan tetapi, sebagai ide
permainan, hal itu boleh dikata sebagai gejala yang belum cukup lama. Hal ini
kelak sedang kita pertaruhkan bagaimana daya strukturasi institusi PAUD formal
memproduksi generasi masa depan, mungkin 15 atau 20 tahun ke depan, atau lebih.
Akan
tetapi, pendidikan “formal” AUD itu cuma beberapa jam. Sepulangnya, AUD
tersebut diajak berjalan-jalan ke mal, atau menonton atau mengikuti kampanye
yang riuh sambil makan makanan yang gurih yang dengan mudah didapatkan di
hampir seluruh toko besar ataupun warung kecil. Kemungkinan lain, untuk
“menenangkan” AUD itu, mungkin sejenak dibiarkan melihat TV. Bukan persoalan
dia menikmati atau tidak, tetapi diam-diam dia menyerap segala sesuatu yang ada
di TV. Kita tahu bagaimana kualitas TV kita yang hampir tidak tersedia sebagai
tontonan anak usia dini. Sistem kapitalisme ikut membesarkan anak usia dini
kita.
Malam
hari, ia mugkin kita dongengi tentang berbagai cerita. Salah satu dongeng yang
mungkin masih kita ceritakan adalah kisah kancil yang pragmatis, oportunis, sedikit licik, dan
tidak berdaya. Perlahan tapi pasti, AUD mendapat masukan untuk menjadi kancil-kancil.
Kelak setelah besar, kita tidak lebih menjadi kancil-kancil dewasa.
Persoalan yang ingin dikatakan di
atas adalah bahwa bagaimana proses transfer dan transmisi kebudayaan telah
berlangsung secara terus-menerus dengan berbagai kekuatan konstitutif yang
membentuk kebudayaan di masa depan secara konstan, yang secara relatif tidak
mengalami perubahan, dan bahkan cenderung involutif. Hari-hari ini kita
menanggung semua itu dan melihat keadaan kita dengan rasa hampir putus asa
dengan pertanyaan bagaimana dan dari mana kita harus memperbaiki itu semua.
3. Memodifikasi Tradisi dan Kearifan Lokal
Semua kegalauan itu menyebabkan kita
mencari berbagai alternatif bagaimana mengatasi berbagai persoalan bangsa dan
negara. Salah satu alternatif, kita mencari-cari kembali “sejarah masa lalu”
dengan tradisi dan nilai-nilai kearifan lokalnya yang diandaikan sebagai dunia
yang tenang dan harmonis. Atau, jangan-jangan ada yang salah dalam cara kita
mengadopsi tradisi dan kearifan lokal. Persoalannya, tradisi dan kearifan lokal
yang mana?
Kekahawatiran saya adalah bahwa PAUD
berbasis tradisi dan kearifan lokal menjadi sebuah keterjebakan pada jargon politik
identitas yang secara substansial bersifat semu dan justru secara relatif tidak
dimungkinkan. Dalam kenyataannya, banyak masyarakat saat ini justru semakin
majemuk, bercampur baur, dan heterogen. Di Indonesia, kita hampir tidak
menjumpai masyarakat yang homogen. Setiap orang membawa lokalitasnya
masing-masing. Dengan demikian, yang dibutuhkan adalah suatu kehidupan
antar-lokalitas. Dunia selayaknya dibangun di atas tataran lintas-lokalitas.
Lokalitas yang mampu berdialektika dan membangun komposisi baru dengan
lokalitas-lokalitas lain yang berbeda.
Sebagai konsekuensinya, pengetahuan,
kearifan, dan keberadaan lokalitas juga perlu mengadaptasi dan mengadopsi cara
hidup yang sesuai dengan kamposisi baru tersebut. Kalau hal itu tidak
dilakukan, pengetahuan dan kearifan lokal cenderung menjadi anarkis dan ekslusif.
Tradisi dan kearifan lokal tidak lebih menjadi politisasi simbolik tertentu
bagi mereka yang sudah mapan atau yang berkuasa. Itulah sebabnya, yang dibutuhkan
tidak lagi sekedar tradisi atau kearifan lokal, tetapi justru kearifan sosial
(atau bahkan kearifan global).
Ada ilustrasi yang bagus apa yang
dimaksud dengan kearifan sosial, yakni apa yang diperliahtkan oleh film Chocolat (2000), yang dibintangi oleh
Juliette Binoche dan Johnny Depp. Dalam film itu, setiap orang ingin menawarkan
tradisi dan kearifan (lokalitas)-nya masing-masing. Salah seorang yakin bahwa
masyarakat hidup harus berdasarkan nilai-nilai agama. Yang lain menawarkan cara
lokalnya yang lain. Film ini justru menawarkan “di atas” itu semua, yakni suatu
kearifan yang sederhana berupa kebaikan hati, perhatian kepada orang lain dan
lingkungan, siap menolong kapan saja dan di mana saja, memiliki keberanian
individual dalam mempertahankan kebaikan (hati), siap berdialog dan terbuka,
bisa dipercaya dan tidak berkhianat, rela berkorban, selalu bersemangat untuk
mencari kehidupan yang lebih baik dalam masyarakat baru yang heteregon
tersebut. Ini bukan menawarkan lokalitas, tetapi sosialitas, kearifan sosial.
Dengan
demikian, terdapat dua konsep kunci yang ingin dipersoalkan dan sekaligus
dihadapkan, yakni konsep kearifan lokal dan kearifan sosial. Sejauh ini, belum
terdapat pengertian kearifan lokal yang mampu mengakomodasi dan memberikan
jangkauan pengertian yang luas. Dalam
pengertian terbatas tersebut yang dimaksud dengan kearifan lokal adalah
seperangkat nilai dan pengetahuan yang dipelihara “secara eksklusif” oleh kelompok
masyarakat lokal tertentu, yang pada mulanya berhubungan dengan cara-cara
pemahaman dan praktik sosial masyarakat berhadapan dengan alam dan lingkungan
(ekologi).
Bentuk-bentuk
pemeliharaan tersebut biasanya berupa ungkapan, pribahasa, dongeng-dongeng atau
cerita mitos dan folklor, filsafat sosial, atau bahkan dalam ritus-ritus budaya
yang bertujuan memelihara keseimbangan dan harmonisasi antara manusia dengan
alam dan lingkungan (ekologi)), dan secara khususnya menjaga hubungan baik
dengan kekuatan supranatural (Tuhan/ Allah/Yang Maha Esa/Yang Maha Kuasa).
Sementara
itu, yang dimaksud dengan kearifan sosial adalah seperangkat nilai dan/atau
pengetahuan kebajikan yang mempengaruhi orang atau masyarakat dalam melakukan
tindakan atau praktik-praktik sosial, yang secara khusus lebih dalam konteks
bagaimana cara-cara orang atau masyarakat dalam mengelola relasi-relasi sosial,
mengelola kehidupan bermasyarakat atau bahkan bernegara. Secara lebih khusus
kearifan sosial dapat diarikan seperti kebaikan hati, tidak berprasangka buruk,
suka menolong, tidak bergunjing, perhatian, ramah, berani secara individual
dalam membela kebaikan (hati), mau berkorban, jujur, toleran, semangat untuk
hidup lebih bak, dan sebagainya.
Akan
tetapi, dalam pengertiannya yang lebih lebar, kearifan lokal kemudian mengalami
transformasi pengertian, yakni segala sesuatu yang berkaitan dengan kekhasan
budaya-budaya lokal tertentu yang harus diakui keberadaannya, dan berbeda
dengan kekhasan budaya lokal tertentu lainnya. Dalam praktiknya, dalam situasi
inilah kearifan lokal kadang-kadang berbenturan dengan kearifan sosial.
Benturan
terjadi ketika klaim kearifan lokal dianggap lebih berdaulat dibanding
perbedaan-perbedaan dan perbauran yang terjadi di tingkat sosial. Jika
pengakuan terhadap kearifan lokal didahulukan (dimenangkan) maka sangat mungkin
kearifan lokal terkesan tidak adaptif terhadap konteks-konteks hubungan
kemanusiaan yang lebih luas. Karena, seperti diketahui, dalam pengertian
awalnya memang kearifan lokal tidak dimaksudkan sebagai satu perangkat
pengetahuan untuk mengelola relasi sosial.
Namun,
terdapat contoh yang menarik bagaimana kearifan lokal dan kearifan sosial
dibedakan dan sekaligus selayaknya dipraktikkan secara bersamaan, misalnya
dalam cara membangun rumah. Bagaimana rumah dibangun, menghadap ke arah mana,
dari bahan apa (bambu, kayu, atau bata), kapan hari baik untuk masuk rumah, dan
sebagainya, secara khusus merupakan kearifan lokal masyarakat bersangkutan.
Akan
tetapi, pengatahuan lokal yang khusus itu hanya bisa berlaku pada waktu dulu,
ketika penduduk dan tanah masih sangat luas untuk dibangun. Sekarang
kenyataannya berbeda, tanah untuk hunian sangat sempit, sementara penduduk
bertambah terus, dan kemiskinan. Sebagai resikonya, banyak rumah dibangun asal-asalan.
Sementara itu, kearifan sosial lebih bersangkutan dengan bagaimana orang
mengambil keputusan dalam membangun rumah agar ramah dengan tetangga, tidak
membuat tetangga menjadi tersingkir atau menjadi tidak nyaman dengan keberadaan
rumah tersebut.
4. Mencari Metode dan Pola
Dapat “disimpulkan” bahwa secara
umum masyarakat Indonesia telah gagal dalam membangun kesuksesan bangsanya. Hal
yang itu terlihat dari gagalnya beberapa negara-bangsa (nenek moyang) terdahulu
seperti Sriwijaya, Majapahit, Mataram, dan beberapa negara lain di nusantara
yang tidak pernah berhasil membangun kesuksesan, melainkan justru runtuh. Pada
abad ke-16 Indonesia mulai dijajah bangsa Barat, dan semenjak itu Indonesia
mengalami inferioritas yang berkepanjangan, bahkan mungkin sampai hari ini.
Melihat kegagalan bangsa Indonesia
membangun kesuksesan bangsanya, kita memang perlu mengambil hikmah dari kegagalan
cara-cara nenek moyang kita dalam membangun negara. Hingga akhir abad ke-19 dan
terutama abad ke-20, sebagian kecil orang terdidik Indonesia mulai bermunculan
menjadi tokoh-tokoh nasional. Saat ini, kita tahu, begitu banyak orang besar
dan sukses di Indonensia. Pembelajaran biografi pada usia dini orang-orang
besar dan sukses tersebut, tampaknya menjadi mendesak untuk dipelajari dan
diteladani.
Artinya, perlu dipelajari bagaimana
seseorang pada usia dini nendapat didikan sehingga ia terbukti berhasil menjadi
manusia tangguh sesuai dengan profesi yang digelutinya. Pola didikan dan metode
yang menghasilkan manusia tangguh tersebut disistematisasikan dan dilembagakan
sehinga didapatkan suatu pola dan metode yang dapat mempertahankan munculnya
manusia-manusia tangguh. Institusi PAUD perlu mencari dan melakukan riset
bagaimana tokoh-tokoh sukses dan tangguh di bidangnya masing-masing mengalami
pembelajaran dan pendidikan di usia dini.
Kemungkinan
kedua, kita perlu belajar dan mengadopsi pola dan sistem negara atau bangsa
yang terbukti sukses mendidik karakter masyarakat dan bangsanya sehingga sukses
menjadi bangsa besar. Bagaimanapun, pola dan metode yang sistematis dalam
menyelenggarakan PAUD perlu dilembagakan berdasarkan riset yang matang dan
dapat dibuktikan ketangguhannya. Memang, tentu perlu ada penyesuaian substansial
seperti telah disinggung di depan.
Akan
tetapi, hal itu tidak bisa dilakukan hanya dengan konsentrasi pada PAUD.
Institusi PAUD selayaknya secara terus menerus memberi masukan kepada
masyarakat agar AUD mendapatkan kehidupan dan pembelajaran tidak seperti yang
digambarkan dalam beberapa kasus di atas. Bagaimanapun kita perlu melakukan
suatu organisasi yang sinergis dalam mendidik masyarakat. Tanggung jawab kita
terhadap negara dan bangsa tidak hanya di PAUD, tetapi secara sinergis dan
berkelanjutan ada di tangan kita bersama. * * *
[1] Esei pendek ini merupakan
catatan pengantar untuk Seminar Nasional
Pengembangan Pendidikan Anak Usia Dini Berbasis Kearifan Lokal, di
Universitas Negeri Jakarta,
28 September 2011.
[3] Pengertian tentang
Indonesia kadang tidak mewakili sesuatu yang ternyata lebih bersifat lokal.
Akan tetapi, hal Indonesia yang dimaksud adalah hal-hal yang terjadi di
Indonesia, walau dalam praktiknya lebih bersifat budaya lokal tertentu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar