Minggu, 06 Mei 2012

RELEVANSI PEMIKIRAN S.T ALISJAHBANA

MEMPERJUANGKAN NILAI, MENAKLUKKAN SEJARAH[1]

Aprinus Salam[2]

Sekilas Konsep Budaya S.T. Alisjahbana
Perbincangan tentang pemikiran budaya Sutan Takdir Alisjahbana (STA) sudah sering dilakukan. Beberapa di antaranya mendukung, tetapi lebih banyak pula yang mengkritik atau menolaknya. Mungkin Ignas Kleden (1988) yang cukup elegan dalam mendudukkan pemikiran STA. Beberapa konsep budaya STA memang dianggap tidak empiris, idealis, dan normatif sehingga mengalami kesulitan untuk membumi di Indonesia.

Akan tetapi, begitu Kleden, lebih dari itu yang paling penting adalah sosok STA itu sendiri yang demikian yakin dan “final” dalam pendiriannya. Kleden menghormati STA karena STA seorang yang konsisten dan konsekuen dengan dan dalam pemikirannya. STA mempraktikkan secara sungguh-sungguh konsep pemikirannya dalam kehidupan sehari-hari, ia pekerja keras dan belajar banyak hal.

STA mengartikan kebudayaan sebagai keseluruhan penjelmaan dari proses penilaian dan nilai-nilai yang muncul dari perilaku, perbuatan, perkembangan benda-benda rohani dan jasmani manusia, yang kesemuanya berintegrasi dalam suatu pola atau konfigurasi. Berdasarkan konsep tersebut STA mengartikan lebih jauh kebudayaan sebagai penjelmaan keaktifan budi manusia menanggapi persoalan-persoalan kehidupan dan nilai-nilai.

Tulisan ini mempersoalkan salah satu filosofi pemikiran STA tersebut, yakni bahwa manusia, dengan akal budinya, mampu menaklukkan sejarah. Ia berkeyakinan bahwa sejarah bisa dipotong. Implikasinya, sejarah kebodohan bisa dipotong, sejarah kemiskinan bisa dipotong, sejarah korupsi bisa dipotong.

Apabila Datang Masanya,
Dapat dikatakan bahwa STA merupakan salah satu pionir dalam berbagai gagasan tentang bagaimana Indonesia bisa maju (dan modern). Salah satu prinsip dalam pemikiranya, jika Indonesia mau maju maka Indonesia harus mengadopsi ilmu pengetahuan dan teknologi Barat (yang menjadi sumber kemajuan renaisans Eropa). Kegandrungan STA terhadap Barat tentu sangat beralasan karena Barat terbukti sukses dalam mengembangkan peradabannya menjadi negara-negara yang makmur, lebih sehat, lebih kaya, lebih berkeadilan, dan lebih demoraktis.

Walaupun STA mengagumi Barat, di tahun 1970-an akhir dan 1980-an awal, dia mengkritik Barat karena ada beberapa perkembangan di Barat yang tidak menggembirakan. Ia mengkiritik Barat karena Barat lebih berkembang secara sekular, dan terjadinya dehumanisasi sebagai efek dari kapitalisme. Akan tetapi, STA tidak cukup punya alasan mengkritik individualisme dan pencapaian (ambisi) diri manusia karena hal itu masih sejalan dalam koridor pemikiran STA yang mengunggulkan pribadi diri yang kuat.

Selain itu, STA juga memperhitungkan akan terjadi berbagai kendala dalam mengadopsi budaya Barat itu. Ia memperhitungkan bahwa tradisi-tradisi (budaya lama) di Indonesia tidak memiliki orientasi pada progresi individual dan kemajuan ekonomi. Selain itu, Islam masuk ke Indonesia. Islam dan beberapa tokohnya (biasanya para haji) memang memperlihatkan etos kerja dan ekonomi yang berpengaruh terhadap perkembangan ekonomi lokal (di beberapa tempat di Indonesia).

Dalam sejarahnya, komunitas-komunitas Islam tertentu memperlihatkan keberhasilan dan persaingan dengan komunitas Cina Indonesia. Akan tetapi, terbukti kelak orang Cina di Indonesia memperlihatkan kemajuan ekonomi yang penting dan orang Islam kalah bersaing.

Sepertinya, kebudayaan Indonesia merupakan komposisi yang mengarah pada nilai-nilai yang mana “tradisi budaya” jauh lebih kuat daripada apa yang bisa dibayangkan STA. Komposisi budaya kita diarahkan dan mengarah pada sesuatu yang berangkat dari nilai-nilai lokal tertentu. Di Jawa, misalnya, kebudayaan lebih menjadi sesuatu yang men-Jawa dengan atribusi sedikit modern daripada modern-Jawa. Padahal, mungkin yang diharapkan STA adalah orang modern yang Jawa, orang modern Minang, dan sebagainya.

Tampaknya, dalam banyak hal, STA menyetujui Weber. Pengembangan dan sandaran rasionalistas, kerja keras, disiplin, hidup hemat dan sederhana merupakan jalan atau solusi bagaimana budaya Barat (modernitas) tersebut bisa “diambil alih”. Dalam beberapa tulisannya, STA menjelaskan teori Weber dan dengan relevansinya atas etos orang Islam di Indonesia, juga konfusius. STA mengatakan bahwa Islam yang masuk ke Indonesia adalah Islam yang telah berkurang semangat ilmu dan semangat ekonominya, walaupun tetap masih dapat memberi kegiatan ekonomi (1988: 83).

STA berkeyakinan bahwa pada akhirnya segala sesuatu bergantung manusianya. Kebudayaan adalah hasil rekayasa (perbuatan) manusia, bukan sebaliknya. “Apabila datang masanya, kebudayaan Indonesia tumbuh rimbun dan dahsyat sebagai pohon beringin. Berikut akarnya menyemai bumi dan di bawah lindungannya bangsa Indonesia jaya dan berbahagia”.

Persoalannya, bagaimana menempatkan kembali konsep tersebut dalam perkembangan dunia, khususnya Indonesia, saat ini. Apakah masih mungkin pemikiran STA tersebut relevan?

Restorasi Budaya
Dalam perkembangannya, beberapa negara (tidak termasuk Indonesia) memperlihatkan bahwa telah terjadi transformasi atau revolusi budaya. Pada tahun 1970-an, Singapura tidak lebih sebagai negara pelabuhan yang tidak cukup berarti dalam konstelasi dunia. Ketika negara kecil dan secara relatif tidak memiliki kekayaan SDA tersebut dipimpin Lee Kwan Yew, Singapura secara cepat berubah.

Setelah menjadi pemimpin politik tertinggi, Lee Kwan Yew bertekat membersihkan Singapura dari korupsi dan mengefisienkan birokrasi. Terbukti dalam masa kepempimpinannya Singapura menjadi negara maju dan kekuatan ekonominya kemudian disebut sebagai salah satu macan Asia, hingga kini. Dalam kepemimpinan Lee, korupsi turun drastis, hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Tentu terdapat sejumlah nilai budaya yang akomodatif dalam diri manusia Singapura sehingga Singapura bisa berubah dengan cepat.

Kisah Lee Kwan Yew memperlihatkan bahwa keteguhan diri manusia, yang berimplikasi pada keputusan dan tindakan politik, bisa mengubah kebudayaan. Lee berhasil memotong dan menaklukkan sejarah. Masalahnya adalah bahwa nilai yang dipraktikkan Lee mendapat dukungan modal budaya yang dimiliki orang Singapura, khususnya etos Konghucu. Walaupun tidak secara ekplisit bisa dijelaskan, ada kesamaan antara etos Konghucu dan etos Protestan seperti dijelaskan dan mejadi teori Weber tentang proses perkembangan kemakmuran dan demokrasi dalam suatu masyarakat.  

Korea juga memperlihatkan tanda-tanda bahwa manusia bisa memotong dan menaklukkan sejarah. Pada tahun 1960-an, Korsel adalah negara yang tidak cukup diperhitungkan di dunia. Kesadaran tentang ketertinggalan itu membuat masyarakat Korsel mengubah strategi hidupnya. Pada tahun 1990-an, Korsel merupakan salah satu negara termaju, dan menjadi kekuatan ekonomi ke-14 di dunia. Hal yang paling mengubah Korsel adalah perubahan budaya, perubahan manusianya yang mau kerja keras, mengubah dan menerapkan pendidikan secara konsisten dan bertanggungjawab, hidup hemat, mengembangkan organisasi secara demokratis, dan disiplin.

Barangkali yang spektakuler adalah Jepang. Pada tahun 1860-an Jepang merupakan negara yang dikuasai Shogun. Pada tahun 1867-68 terjadi pergolakan dan pertumpahan darah di Jepang karena masyarakat Jepang menginginkan kembalinya zaman normal (yang kemudian disebut restorasi Meiji) dan kekuasaan kembali ke kaisar yang berpihak pada modernitas. Kekuasaan elite Jepang membangun ekonomi secara rasional, mengirim warga ke Eopa atau mendatangkan ahli dari Barat untuk membangun Jepang, dan secara konsisten dan konstan membangun semangat cinta Kaisar (Jepang). Pada tahun 1980-an, dan seterusnya, Jepang menjadi salah satu negara paling maju dan modern di dunia, dan dengan tingkat kemakmuran yang tinggi.

Berangkat dari beberapa kasus di atas, pada dasarnya konsep tentang sejarah dapat ditaklukkan adalah sesuatu yang mendapatkan landasan empirisnya, dalam berbagai cara yang berbeda. Lebih dari 75 tahun yang lalu STA sudah mempersoalkan bahwa Indonesia seharusnya melakukan hal itu. Akan tetapi, hingga sekarang ternyata banyak hal tidak cukup berubah di Indonesia. Apa persoalannya? Sangat mungkin hal ini berkaitan dengan modal budaya yang dimiliki orang Indonesia.

Jejak-Jejak Modal Budaya
Modal budaya adalah pemilikan masyarakat terhadap nilai-nilai, kepercayaan, sikap, pandangan dan orientasi hidup, yang dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari (bdk. dengan Samuel P. Huntington, 2000). Dengan demikian, modal budaya adalah bagaimana kehidupan dipraktikkan.

Sejumlah besar negara di Afrika memperlihatkan fenomena yang lebih kurang sama dengan Indonesia. Secara geografi Afrika lebih dekat dengan Eropa dan mendapat persentuhan lebih intens. Akan tetapi, hingga hari ini sejumlah negara di Afrika merupakan sekumpulan negara paling miskin dan paling darurat di dunia. Peperangan, kematian (karena sakit atau kelaparan), masih terjadi di berbagai belahan Afrika. Di benua itu, di selatan Sahara, sekitar 300 juta orang hidup dalam kemiskinan yang parah.

Beberapa pakar mengatakan bahwa salah satu kendala utama Afrika adalah banyak dari orang Afrika tidak mau berubah karena kuatnya cengkraman tradisi budaya. Orang Afrika adalah sejumlah orang yang senang berpesta dalam siklus seremoni (kelahiran, pembatisan, pernikahan, kematian, ulang tahun, promosi jabatan, pemilihan, perjalanan baik pulang atau pergi, dan sebagainya) sehingga orang Afrika tidak memiliki tabungan dan bahkan rela berhutang. Saya hanya ingin membandingkan bahwa hal itu juga terjadi di Indonesia.

Di luar tradisi pesta seremonial dan keinginan untuk menikmati hidup, kita bisa bertanya, pemilikan modal budaya seperti apa yang telah dipraktikan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, dalam praktik kehidupan, kita sering longgar terhadap kendali waktu dan kedisiplinan. Kita punya keyakinan bahwa hidup ini alon-alon sing penting kelakon. Tidak penting prosesnya, tetapi yang penting dapat terlaksana. Bagaimapun itu merupakan salah satu kondisi modal budaya yang ada dalam masyarakat.

            Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kita juga longgar terhadap etika kerja keras. Ada dua kemungkinan, pertama, kita itu sebetulnya mau bekerja keras, tetapi tidak ada jaminan bahwa kerja keras kita mendapat imbalan yang setimpal (Berarti ini masalah struktural dan bagaimana negara mengelola distribusi pendapatan). Kedua, ada nilai-nilai lain untuk tidak perlu ngoyo, hidup itu sak madya saja, hidup itu sederhana saja. Kita tidak perlu berambisi untuk sukses dan berhasil. Artinya, modal budaya yang kita miliki mengajarkan kita tidak perlu ambisius, tidak boleh menampilkan ekspresi diri yang berlebihan. Seperti kita tahu, modal budaya ini kelak bertentangan dengan masyarakat modern (bdk. Ronald Inglehart, 2000).

            Resikonya, kadang inisiatif yang inovatif dan produktif dari individu juga tidak berkembang. Hal ini memperlihatkan bahwa nilai dan kehendak kolektif (masyarakat) menekan individu. Kita selalu memenangkan kehendak orang banyak walau hal itu tidak produktif. Misalnya, kita tahu bahwa polisi tidur itu mengganggu kenyamanan berjalan dan hanya mengganggu atau merugikan orang berkendara. Akan tetapi, keluhan individual tidak penting dan tidak dilayani.

Kita memang mengagungkan ketertiban, kedamainan, atau bahkan keharmonisan. Akan tetapi, diam-diam begitu banyak kebusukan tersimpan dan tersembunyi, dan kita tidak memiliki keberanian untuk membongkar dan menelanjangi. Atas nama kedamaian, kita hanya tidak menyukai koruptor, tapi tidak berbuat apa-apa sebagai sanksi sosial. Atas nama keharmonisan, kita memilih diam dan sakit hati atas kezaliman pemimpin daripada ramai dan jadi masalah.

Memang ada nilai-nilai filosofi sebaliknya, misalnya yang berbuat baik akan panen kebaikan, yang kerja keras akan berbuah dari kerja kerasnya, baik cepat maupun lambat.  Misal lain, hidup itu hanya mampir minum, hidup itu sementara, maka bergegaslah hidup yang sementara itu diisi dengan kebajikan. Kita tahu nilai-nilai seperti itu, tetapi  biasanya kita sulit mempraktikannya. Kabajikan sering dimaknai secara politis, dan politisasi terlanjur menyejarah alam hidup kita.

Akan tetapi, nilai hidup itu hanya mampir minum, menjadikan kita tidak berpikir jangka panjang. Kita perlu “berpuas-puas” karena hidup itu hanya sebentar. Tidak perlu menabung dan berstragegi untuk ke depan. Kita tidak bisa mengendalikan masa depan. Hal ini memperlihatkan bahwa kemampuan orang Indonesia dalam mengendalikan waktu masih lemah.

Padahal, seperti dikatakan Mariano Grondana, waktu terbagi tiga, dahulu, sekarang, dan ke depan. Waktu ke depan ada yang dalam jangkauan, tetapi ada yang sangat jauh ke depan (alam baka). Hal ini penting karena banyak modal budaya di antara kita yang melihat; kalau tidak kejayaan masa lalu, atau justru yang sangat jauh ke depan. Ini bertentangan dengan nilai-nilai modern. Dia mengajak kita untuk perlu realistis dalam mengendalikan waktu secara rasional dan terjangkau.

Agama tentu berperan penting bagi pemeliharaan dan pemupukan modal budaya. Masalahnya adalah bahwa aturan-aturan, terutama syariah, sudah sangat baku sehingga mengalami kesulitan untuk beradaptasi dengan perubahan. Memang, banyak orang masih berpegang teguh dengan modal budaya dalam bimbingan agama. Sejauh pembicaraan di sini tidak terlalu menyimpang dari persoalan tersebut, peran agama dalam pemeliharaan modal sosial tidak disinggung. 

Dalam situasi itu, adalah kenyataan bahwa kondisi masyarakat Indonesia ternyata tidak cukup baik. Kualitas manusia Indonesia ada di peringkat 124 dari 187 negara. Saat ini, Indonesia menduduki peringkat lima besar negara paling korup di dunia. Orang yang hidup di bawah garis kemiskinan sekitar 35 juta orang. Pengangguran hampir 15 juta orang. Kualitas kesehatan orang Indonesia tidak cukup baik, kriminalitas terjadi di mana-mana. Politik dijalankan dengan cara-cara kerakusan. Ekonomi dipraktikkan dengan cara-cara ketamakan, hukum bisa diatur dan dibeli dengan uang, dan sebagainya.

            Kita bisa membayangkan bahwa tentu bukan hanya STA yang menjadi sangat prihatin dan sedih dengan kondisi Indonesia saat ini. Itulah sebabnya, gagasan bahwa nilai-nilai harus diperjuangkan kembali dan sejarah harus ditaklukkan perlu dikumandangkan secara konsisten dan lantang. Seperti diberitakan dan ditulis oleh beberapa pakar, perjuangan terhadap nilai itu yang sekarang tidak dimiliki oleh Indonesia.

Konsolidasi Barat
            Seperti telah disinggung, pada tahun 1970-an STA mengkritik Barat karena perkembangan Barat dianggap menyimpang. Tanpa dikritik STA, Barat juga mengkritik dirinya. Barat melakukan berbagai konsolidasi untuk menekan kemungkinan terjadinya dehumanisasi, bias dan ketimpangan jender, mengontrol penegakan hukum dan demokrasi. Alhasil, sebagian negara Barat, seperti Amerika Serikat dan sejumlah negara Eropa tetap berhasil mempertahankan kemakmuran, kemajuan, dan penegakan hukum dan demokrasi.

            Hal yang menarik adalah bahwa beberapa ahli dan ilmuwan Barat saat ini justru mengembangkan dan kembali memperjuangkan nilai-nilai budaya yang berorientasi untuk kemakmuran, keadilan, dan kemajuan bersama di dunia. Di samping melakukan studi-studi empiris, beberapa pemikir dan ilmuwan Barat (atau mereka yang belajar banyak dari keberhasilan Barat) mulai berpihak bahwa, dalam beberapa kasus, sejarah bisa ditaklukkan demi kemaslahatan bersama.

            Saya ingin mengutip pernyataan Lawrence E. Harrison (2000, buku itu kemudian diterjemahkan oleh LP3ES tahun 2006). Kutipan berikut dari buku LP3ES tersebut).

            Kehidupan lebih baik daripada kematian.
            Kesehatan lebih baik daripada sakit.
            Kebebasan lebih baik daripada perbudakan.
            Kesejahteraan lebih baik daripada kemiskinan.
            Pendidikan lebih baik daripada kebodohan.
Keadilan lebih baik daripada ketidakadilan.

            Artinya, komitmen dan gagasan STA bagaimana memperjuangkan nilai untuk menaklukkan sejarah kemiskinan, penyakit, kebodohan, perbudakan, ketidakadilan mendapatkan relevansinya kembali. Kita tahu bahwa begitu banyak penelitian, teori, dan strategi-strategi yang telah dilakukan dan diterapkan di Indonesia. Dalam kenyataannya, Indonesia masih merupakan salah satu negara paling tidak adil di dunia, kemiskinan dan ketidaksehatan masih merupakan salah satu masalah besar di Indonesia, korupsi masih secara besar-besaran dan terang-terangan dilakukan. Apa yang bisa kita lakukan secara benar di Indonesia demi masa depan yang lebih mulia?

            Memang, Kompas, 25 November 2011 memberitakan bahwa menurut proyeksi Princewaterhouse-Cooper dan Goldman Sach memprediksi bahwa Indonesia pada tahun 2050 akan masuk tujuh besar perekonomian dunia, bersama Brasil, Rusia, China, Meksiko, dan Turki. Sementara itu, menurut Yayasan Indonesia Forum, pada tahun 2030 Indonesia masuk lima besar perekonomian dunia, dengan produk domestik bruto (PDB) 5.1 trilliun dollar AS dan PDB per kapita 18.000 dollar AS.

Persoalannya adalah bahwa perhitungan tersebut lebih merupakan perhitungan angka-angka ekonomi makro tanpa memperhitungkan kondisi-kondisi budaya yang terjadi di Indonesia. Saya mengkalkulasi jika perhitungan tersebut tidak didukung oleh reformasi, atau bahkan revolusi budaya, maka berita tersebut menjadi sesuatu yang utopis dan terjerumus pada perhitungan kasar yang berlebihan. Namun, anehnya, dalam kontekstualisasi STA, saya sendiri berharap bahwa ramalan tersebut dapat terwujud.

Memodifikasi Nilai-Nilai Budaya
Mengikuti beberapa gagasan STA, paling tidak terdapat beberapa hal yang berkaitan dengan perjuangan nilai yang perlu terus menerus didesakkan. Memang ajakan itu normatif dan kita sudah tahu semua. Akan tetapi, seperti yang dicontohkan dengan tidak bosan-bosan oleh STA, kita harus saling mengingatkan.

Hal pertama yang selalu ditolak STA adalah bahwa kita jangan terbelenggu oleh kejayaan masa lalu. Hal ini disampaikan STA ketika mengkritik novel Armijn Pane, Belenggu. STA mengatakan bahwa bangsa yang mengagungkan kejayaan masa lalu adalah bangsa yang terbelenggu karena justru tidak cukup tangkas berpikir terhadap masa depan.

Di samping itu, STA juga mengingatkan kita untuk mengendalikan waktu dengan cara-cara disiplin yang ketat. Kita perlu ambisius dan kalau perlu egois untuk memperluas dan mendalami pengetahuan agar menjadi bangsa yang tidak terjajah terus. Itu pemahaman yang paling realistis dan strategis sekaligus adaptif terhadap berbagai perubahan yang terjadi. Bagaimanapun, sejauh ini perubahanlah yang menggiring kita ke depan, bahwa hidup berjalan ke depan.

Kedua, STA selalu menekankan kemandirian, kemampuan individual dan perlunya kebebasan ekpresi diri yang produktif. STA juga membantu kita untuk berpikir jangan mementingkan nama baik, tapi bagaimana berbuat baik dan terus menerus bekerja, seperti yang telah dicontohkan dalam hidupnya.

Masalahnya adalah bahwa nilai tersebut dihadapkan oleh pemilikan budaya masyarakat Indonesia, juga dihadapkan dengan nilai-nilai lain seperti godaan hedonisme. Kenapa bisa begitu, karena kebudayaan adalah sesuatu hasil negosiasi antara nilai-nilai ideal dan nilai-nilai aktual yang sedang “berlaku” di masyarakat. Proses negosiasi ditentukan oleh banyak hal, bisa yang bersifat regulatif dan teratur, tetapi banyak hal justru terjadi secara spontan (bandingkan juga dengan Francis Fukuyama, 2000).

Fukuyama menjelaskan bahwa kehidupan dijalankan berdasarkan negosiasi antara kemapanan dan kespontanan. Banyak modal budaya yang berusaha mempertahankan kemapanan dan tidak cukup memberi peluang untuk kespontanan. Padahal, ke depan, dinamika kemajuan dan perkembangan ekonomi menuntut lebih besar peluang kespontanan, yang dalam hal ini adalah inovasi, kreativitas, dan ekpresi diri yang produktif.

Singkat kata, banyak modal budaya kita yang perlu disingkap, ditelanjangi, dan dinilai kembali dengan  nilai-nilai yang lebih relevan terhadap kemajuan masa depan. Modal budaya bukan hanya untuk dipelihara dan dipraktikkan terus menerus jika hal itu ternyata tidak cukup kondusif terhadap perkembangan masyarakat menuju masyarakat yang sejahtera dan demokratis. Akan tetapi, lebih dari itu adalah keberanian untuk berubah. Seperti kata puisi Aku-nya Chairil berlari hingga hilang pedih peri.

Bagaimana peluang pemikiran STA tentang nilai menaklukkan diri sendiri untuk menaklukkan sejarah. Hal itu kembali tergantung bagaimana kita berani mereformasi untuk kemudian merevitalisasi modal budaya yang kita miliki. Modal budaya pada akhirnya menentukan karakter-karakter manusia Indonesia. Kalau dirasakan bahwa modal budaya kita tidak cukup kondusif dalam membangung karakter, yang berimplikasi terhadap pembangunan masyarakat sejahtera, berkeadilan, dan demokratis, maka tidak ada salahnya kita ubah. * * *



[1] Seminar Great Thinkers di Sekolah Pascasarjana UGM, 29 November 2011.
[2] Staf Pengajar di FIB Universitas Gadjah Mada.

Kamis, 03 Mei 2012

MENCARI ALTERNATIF PENDIDIKAN ANAK USIA DINI (PAUD)[1]


Oleh Aprinus Salam[2]

1. Pengantar
            Salah satu situasi, kondisi ,dan medan utama PAUD adalah keluarga dan masyarakat. Upaya pelembagaan PAUD, memang penting, tetapi bagaimanapun keluarga dan masyarakat masih memainkan peranan utama dalam PAUD. Hal itu dimungkinkan karena sebagian besar waktu AUD masih bersama keluarga dan masyarakat. Pendidikan formal AUD menjadi penting karena diharapkan memberikan masukan, berupa konsep dan wacana, ataupun praktik bagaimana AUD dikelola dan dididik secara lebih komprehensif.

            Berdasarkan beberapa pemahaman atau “teori” yang bisa diterima bersama, maka dapat dikatakan bahwa dalam jangka panjang mutu suatu bangsa atau masyarakat ikut ditentukan bagaimana bangsa atau masyarakat tersebut mendidik AUD-nya. Hal itu dikarenakan karakter seseorang ikut (kalau tidak sangat) ditentukan bagaimana seseorang mendapat pendidikan (dalam pengeritan luas) pada usia dini tersebut.

Sayangnya, kita tidak mendapat informasi yang singnifikan bagaimana nenek moyang kita mendidik AUD-nya. Menilik kondisi bangsa (masyarakat) Indonesia sekarang, dengan indeks kualitas SDM yang rendah (bahkan dibanding beberapa negara ASEAN), banyaknya orang miskin yang hidup darurat, mutu pendidikan yang masih buruk, masih banyaknya pengangguran dan kekerasan, dan merejalelanya korupsi, maka dapat dikatakan bahwa secara umum bangsa Indonesia telah gagal mendidik karakter manusianya. Persoalannya, kenapa dan bagaimana hal itu terjadi?

            Tulisan ini mempersoalkan bagaimana PAUD dikelola dan dipraktikkan di Indonesia.[3] Hal-hal yang ingin diperhatikan adalah bagaimana tradisi dan kebiasaan masyarakat dalam mendidik AUD-nya, implikasinya, dan kemungkinan historis dalam ikut membangun karakter masyarakat di masa depan. Saya tidak menulis persoalan tersebut sebagai ahli pendidikan, tetapi dalam kapasitas seseorang yang sedikit banyak mempelajari persoalan kebudayaan di Indonesia.

2. Kondisi AUD: Beberapa Kasus
            Keberadaan anak pada usia dini secara relatif mendapat curahan perhatian hampir semua orang, lebih-lebih orang tua (bersangkutan) dan keluarga. Pada usia tersebut, tingkat kebergantungan anak masih sangat tinggi karena ia belum bisa apa-apa. Karena kebergantungan yang tinggi tersebut, nyaris tidak ada AUD yang tidak didampingi keluarga atau orang tuanya, atau seorang yang bekerja untuk menjaga anak tersebut. Seorang AUD kadang mengalami kemanjaan yang luar biasa, yang saya sebut sebagai “pemanjaan yang tidak rasional”, sehingga semua keinginan dan kemauannya dipenuhi, dan di situlah “musibah” itu dimulai.

            Suatu hari, ada seorang anak sekitar berumur 3,5 tahun membuang bungkus ciki di halaman rumah seseorang. (Kita tahu, bahwa hingga hari ini kita belum cukup mampu mengajarkan anak membuang sampah pada tempatnya. Kita ini masyarakat yang bersampah). Yang punya rumah menegur anak tersebut agar tidak membuang sampah sembarang secara baik-baik. Akan tetapi, ternyata si orang tua anak tersinggung dan tidak terima. Dia bilang, “Lah anak kecil kok tidak dimaklumi”. Yang menegur merasa heran karena dia tidak melakukan kesalahan apalagi memarahi sang anak. Siatuasi menjadi sangat tidak enak. Sejak itu, dua tetangga tersebut bermusuhan. Suatu kali, sang anak membuang sampah kembali di halaman tetangganya, dan kembali ditegur. Sang orang tua anak tidak terima, dan yang mengejutkan, ia langsung mengambil pisau dan menusuk tetangga yang menegur anaknya.

Di kampung saya, cara orang “membangunkan” saur dengan cara menabuh genderang yang memekakkan kuping. Banyak AUD yang terbangun, dan ia keluar rumah menyaksikan bagaimana genderang yang mengganggu “orang yang tidak perlu saur” itu telah ditransfer secara tidak sadar. Ketidakpedulian sosial telah diajarkan. Seorang anak merengek minta dibelikan mercon. Walau bukan anak kecil itu yang menghidupkan mercon, tapi dia dipertontonkan bagaimana membunyikan mercon. Di kemudian hari, mercon menjadi kebiasaan yang “menyenangkan”, tapi sekaligus mengganggu orang lain dan hampir tidak ada gunanya. Proses pembisingan dan pemekakaan telinga telah ditransmisikan.
           
Kita melihat sisi lain seorang AUD. Mungkin pagi hari hingga siang sang AUD diititipkan ke lembaga-lembaga PAUD. Di situ AUD terkesan dibiarkan bermain. Ada kecenderungan bentuk permainan yang diakomodari masih mengandalkan permainan yang mekanis dan teknis yang mudah di dapatkan di toko-toko. Mungkin barang-barang tersebut diproduksi di dalam negeri. Akan tetapi, sebagai ide permainan, hal itu boleh dikata sebagai gejala yang belum cukup lama. Hal ini kelak sedang kita pertaruhkan bagaimana daya strukturasi institusi PAUD formal memproduksi generasi masa depan, mungkin 15 atau 20 tahun ke depan, atau lebih.

Akan tetapi, pendidikan “formal” AUD itu cuma beberapa jam. Sepulangnya, AUD tersebut diajak berjalan-jalan ke mal, atau menonton atau mengikuti kampanye yang riuh sambil makan makanan yang gurih yang dengan mudah didapatkan di hampir seluruh toko besar ataupun warung kecil. Kemungkinan lain, untuk “menenangkan” AUD itu, mungkin sejenak dibiarkan melihat TV. Bukan persoalan dia menikmati atau tidak, tetapi diam-diam dia menyerap segala sesuatu yang ada di TV. Kita tahu bagaimana kualitas TV kita yang hampir tidak tersedia sebagai tontonan anak usia dini. Sistem kapitalisme ikut membesarkan anak usia dini kita.

Malam hari, ia mugkin kita dongengi tentang berbagai cerita. Salah satu dongeng yang mungkin masih kita ceritakan adalah kisah kancil yang  pragmatis, oportunis, sedikit licik, dan tidak berdaya. Perlahan tapi pasti, AUD mendapat masukan untuk menjadi kancil-kancil. Kelak setelah besar, kita tidak lebih menjadi kancil-kancil dewasa.

            Persoalan yang ingin dikatakan di atas adalah bahwa bagaimana proses transfer dan transmisi kebudayaan telah berlangsung secara terus-menerus dengan berbagai kekuatan konstitutif yang membentuk kebudayaan di masa depan secara konstan, yang secara relatif tidak mengalami perubahan, dan bahkan cenderung involutif. Hari-hari ini kita menanggung semua itu dan melihat keadaan kita dengan rasa hampir putus asa dengan pertanyaan bagaimana dan dari mana kita harus memperbaiki itu semua.

3. Memodifikasi Tradisi dan Kearifan Lokal
            Semua kegalauan itu menyebabkan kita mencari berbagai alternatif bagaimana mengatasi berbagai persoalan bangsa dan negara. Salah satu alternatif, kita mencari-cari kembali “sejarah masa lalu” dengan tradisi dan nilai-nilai kearifan lokalnya yang diandaikan sebagai dunia yang tenang dan harmonis. Atau, jangan-jangan ada yang salah dalam cara kita mengadopsi tradisi dan kearifan lokal. Persoalannya, tradisi dan kearifan lokal yang mana?

            Kekahawatiran saya adalah bahwa PAUD berbasis tradisi dan kearifan lokal menjadi sebuah keterjebakan pada jargon politik identitas yang secara substansial bersifat semu dan justru secara relatif tidak dimungkinkan. Dalam kenyataannya, banyak masyarakat saat ini justru semakin majemuk, bercampur baur, dan heterogen. Di Indonesia, kita hampir tidak menjumpai masyarakat yang homogen. Setiap orang membawa lokalitasnya masing-masing. Dengan demikian, yang dibutuhkan adalah suatu kehidupan antar-lokalitas. Dunia selayaknya dibangun di atas tataran lintas-lokalitas. Lokalitas yang mampu berdialektika dan membangun komposisi baru dengan lokalitas-lokalitas lain yang berbeda.

            Sebagai konsekuensinya, pengetahuan, kearifan, dan keberadaan lokalitas juga perlu mengadaptasi dan mengadopsi cara hidup yang sesuai dengan kamposisi baru tersebut. Kalau hal itu tidak dilakukan, pengetahuan dan kearifan lokal cenderung menjadi anarkis dan ekslusif. Tradisi dan kearifan lokal tidak lebih menjadi politisasi simbolik tertentu bagi mereka yang sudah mapan atau yang berkuasa. Itulah sebabnya, yang dibutuhkan tidak lagi sekedar tradisi atau kearifan lokal, tetapi justru kearifan sosial (atau bahkan kearifan global).

            Ada ilustrasi yang bagus apa yang dimaksud dengan kearifan sosial, yakni apa yang diperliahtkan oleh film Chocolat (2000), yang dibintangi oleh Juliette Binoche dan Johnny Depp. Dalam film itu, setiap orang ingin menawarkan tradisi dan kearifan (lokalitas)-nya masing-masing. Salah seorang yakin bahwa masyarakat hidup harus berdasarkan nilai-nilai agama. Yang lain menawarkan cara lokalnya yang lain. Film ini justru menawarkan “di atas” itu semua, yakni suatu kearifan yang sederhana berupa kebaikan hati, perhatian kepada orang lain dan lingkungan, siap menolong kapan saja dan di mana saja, memiliki keberanian individual dalam mempertahankan kebaikan (hati), siap berdialog dan terbuka, bisa dipercaya dan tidak berkhianat, rela berkorban, selalu bersemangat untuk mencari kehidupan yang lebih baik dalam masyarakat baru yang heteregon tersebut. Ini bukan menawarkan lokalitas, tetapi sosialitas, kearifan sosial.

Dengan demikian, terdapat dua konsep kunci yang ingin dipersoalkan dan sekaligus dihadapkan, yakni konsep kearifan lokal dan kearifan sosial. Sejauh ini, belum terdapat pengertian kearifan lokal yang mampu mengakomodasi dan memberikan jangkauan pengertian yang luas.  Dalam pengertian terbatas tersebut yang dimaksud dengan kearifan lokal adalah seperangkat nilai dan pengetahuan yang dipelihara “secara eksklusif” oleh kelompok masyarakat lokal tertentu, yang pada mulanya berhubungan dengan cara-cara pemahaman dan praktik sosial masyarakat berhadapan dengan alam dan lingkungan (ekologi).

Bentuk-bentuk pemeliharaan tersebut biasanya berupa ungkapan, pribahasa, dongeng-dongeng atau cerita mitos dan folklor, filsafat sosial, atau bahkan dalam ritus-ritus budaya yang bertujuan memelihara keseimbangan dan harmonisasi antara manusia dengan alam dan lingkungan (ekologi)), dan secara khususnya menjaga hubungan baik dengan kekuatan supranatural (Tuhan/ Allah/Yang Maha Esa/Yang Maha Kuasa).

Sementara itu, yang dimaksud dengan kearifan sosial adalah seperangkat nilai dan/atau pengetahuan kebajikan yang mempengaruhi orang atau masyarakat dalam melakukan tindakan atau praktik-praktik sosial, yang secara khusus lebih dalam konteks bagaimana cara-cara orang atau masyarakat dalam mengelola relasi-relasi sosial, mengelola kehidupan bermasyarakat atau bahkan bernegara. Secara lebih khusus kearifan sosial dapat diarikan seperti kebaikan hati, tidak berprasangka buruk, suka menolong, tidak bergunjing, perhatian, ramah, berani secara individual dalam membela kebaikan (hati), mau berkorban, jujur, toleran, semangat untuk hidup lebih bak, dan sebagainya.

Akan tetapi, dalam pengertiannya yang lebih lebar, kearifan lokal kemudian mengalami transformasi pengertian, yakni segala sesuatu yang berkaitan dengan kekhasan budaya-budaya lokal tertentu yang harus diakui keberadaannya, dan berbeda dengan kekhasan budaya lokal tertentu lainnya. Dalam praktiknya, dalam situasi inilah kearifan lokal kadang-kadang berbenturan dengan kearifan sosial.
Benturan terjadi ketika klaim kearifan lokal dianggap lebih berdaulat dibanding perbedaan-perbedaan dan perbauran yang terjadi di tingkat sosial. Jika pengakuan terhadap kearifan lokal didahulukan (dimenangkan) maka sangat mungkin kearifan lokal terkesan tidak adaptif terhadap konteks-konteks hubungan kemanusiaan yang lebih luas. Karena, seperti diketahui, dalam pengertian awalnya memang kearifan lokal tidak dimaksudkan sebagai satu perangkat pengetahuan untuk mengelola relasi sosial.

Namun, terdapat contoh yang menarik bagaimana kearifan lokal dan kearifan sosial dibedakan dan sekaligus selayaknya dipraktikkan secara bersamaan, misalnya dalam cara membangun rumah. Bagaimana rumah dibangun, menghadap ke arah mana, dari bahan apa (bambu, kayu, atau bata), kapan hari baik untuk masuk rumah, dan sebagainya, secara khusus merupakan kearifan lokal masyarakat bersangkutan.

Akan tetapi, pengatahuan lokal yang khusus itu hanya bisa berlaku pada waktu dulu, ketika penduduk dan tanah masih sangat luas untuk dibangun. Sekarang kenyataannya berbeda, tanah untuk hunian sangat sempit, sementara penduduk bertambah terus, dan kemiskinan. Sebagai resikonya, banyak rumah dibangun asal-asalan. Sementara itu, kearifan sosial lebih bersangkutan dengan bagaimana orang mengambil keputusan dalam membangun rumah agar ramah dengan tetangga, tidak membuat tetangga menjadi tersingkir atau menjadi tidak nyaman dengan keberadaan rumah tersebut.

4. Mencari Metode dan Pola
            Dapat “disimpulkan” bahwa secara umum masyarakat Indonesia telah gagal dalam membangun kesuksesan bangsanya. Hal yang itu terlihat dari gagalnya beberapa negara-bangsa (nenek moyang) terdahulu seperti Sriwijaya, Majapahit, Mataram, dan beberapa negara lain di nusantara yang tidak pernah berhasil membangun kesuksesan, melainkan justru runtuh. Pada abad ke-16 Indonesia mulai dijajah bangsa Barat, dan semenjak itu Indonesia mengalami inferioritas yang berkepanjangan, bahkan mungkin sampai hari ini.

            Melihat kegagalan bangsa Indonesia membangun kesuksesan bangsanya, kita memang perlu mengambil hikmah dari kegagalan cara-cara nenek moyang kita dalam membangun negara. Hingga akhir abad ke-19 dan terutama abad ke-20, sebagian kecil orang terdidik Indonesia mulai bermunculan menjadi tokoh-tokoh nasional. Saat ini, kita tahu, begitu banyak orang besar dan sukses di Indonensia. Pembelajaran biografi pada usia dini orang-orang besar dan sukses tersebut, tampaknya menjadi mendesak untuk dipelajari dan diteladani.

            Artinya, perlu dipelajari bagaimana seseorang pada usia dini nendapat didikan sehingga ia terbukti berhasil menjadi manusia tangguh sesuai dengan profesi yang digelutinya. Pola didikan dan metode yang menghasilkan manusia tangguh tersebut disistematisasikan dan dilembagakan sehinga didapatkan suatu pola dan metode yang dapat mempertahankan munculnya manusia-manusia tangguh. Institusi PAUD perlu mencari dan melakukan riset bagaimana tokoh-tokoh sukses dan tangguh di bidangnya masing-masing mengalami pembelajaran dan pendidikan di usia dini.
Kemungkinan kedua, kita perlu belajar dan mengadopsi pola dan sistem negara atau bangsa yang terbukti sukses mendidik karakter masyarakat dan bangsanya sehingga sukses menjadi bangsa besar. Bagaimanapun, pola dan metode yang sistematis dalam menyelenggarakan PAUD perlu dilembagakan berdasarkan riset yang matang dan dapat dibuktikan ketangguhannya. Memang, tentu perlu ada penyesuaian substansial seperti telah disinggung di depan.

Akan tetapi, hal itu tidak bisa dilakukan hanya dengan konsentrasi pada PAUD. Institusi PAUD selayaknya secara terus menerus memberi masukan kepada masyarakat agar AUD mendapatkan kehidupan dan pembelajaran tidak seperti yang digambarkan dalam beberapa kasus di atas. Bagaimanapun kita perlu melakukan suatu organisasi yang sinergis dalam mendidik masyarakat. Tanggung jawab kita terhadap negara dan bangsa tidak hanya di PAUD, tetapi secara sinergis dan berkelanjutan ada di tangan kita bersama. * * *



[1] Esei pendek ini merupakan catatan pengantar untuk Seminar Nasional Pengembangan Pendidikan Anak Usia Dini Berbasis Kearifan Lokal, di Universitas Negeri Jakarta, 28 September 2011.
[2] Dosen Pascasarjana FIB UGM, Yogyakarta.
[3] Pengertian tentang Indonesia kadang tidak mewakili sesuatu yang ternyata lebih bersifat lokal. Akan tetapi, hal Indonesia yang dimaksud adalah hal-hal yang terjadi di Indonesia, walau dalam praktiknya lebih bersifat budaya lokal tertentu.